Monday, December 2, 2013

pemikiran alkindi

Makalah Biografi Al Kindi
Oleh: Ibrahim Lubis
BAB I
PENDAHULUAN
Al-kindi adalah salah seorang filosof muslim yang pengetahuannya sangat menjelimed. Memadukan filsafat dan agama sama – sama mrncari kebenaran dengan menggunakan akal. Al-haq al-awwal baginya adalah tuhan. Filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang tuhan. Setelah tuhan menciptakan manusia. Dia tiupkan ruh-nya sehingga manusia hidup,ruh itu sendiri urusan tuhan. Sementara dengan ruh lah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Dalam persoalan ini penulis kan mencoba membahas tentang filsafat yang sebagian filosof muslim mengklaimnya dan bagaimana korelasinya dengan agama apakah sejalan atau tidak. Dan bagaimana pandangan al-kindi tentang ruh tau jiwa apakah jiwa atau ruh itu mati bila jasad telah busuk atau kekal dan bila kekal dimana ia ditempatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Biografi Al Kindi
A. BIOGRAFI AL- KINDI
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi.[2] Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.[3]
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H ( 8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab, kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya.[4]
Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu.[5] Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M ).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya – karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.
Kelahiran dan kematian al-kindi sebenarnya tidak ada kevalidan dan siapa yang pernah menjadi gurunya. L.Massignon mengatakan bahwa al-kindi wafatsekitar 246 H (860 M ) . C. Nallino menduga tahun 260 H (873 M ), T.J.de Baer menyebut 257 H ( 870 M ),adapun Mustafa Abd al-Raziq mengatakan tahun 252 H ( 866 H ), dan takut al-Himawi menyebutkan setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
C.KARYA – KARYA AL-KINDI
Sebagai seorang filsuf yang sangat produktif, diperkirakan karya yang pernah di tulis oleh al-kindi dalam berbagai bidang tidak kurangb dari 270 buah.
Dalam bidang filasafat diantaranya adalah :
  • Kitab al-falsafah al-Ddakhilat wa al-Masa`il al-Mantiqiyah wa al-Muqtashah wa ma fawqa al-Thabiiyyah ( tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah – masalah logika dan muskil, serta metafisika ).
  • Kitab al-kindi ila al-Mu`tashim Billah fi al-falsafah al-Ula ( tentang filsafat pertama ).
  • Kitab Fi Annahu al-Falsafah illa bi` jlm al-Riyadiyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matyematika ).
  • Kitab fi qashd Aristhathalisfi al-Maqulat (tentang maksud – maksud Aristoteles dalam kategori – kategorinya).
  • Kitab fi Ma`iyyah al-Ilm wa Aqsamihi (tantang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya).
  • risalah fi Hudud al-Asyya`wa Rusumilah ( tentang definisi benda – benda dan uraiannya ).
  • Risalah fi Annahu jawahir la Ajsam(tentang substansi – substansi tanpa badan).
  • Kitab fi ibarah al-jawami` al-Fikriyah(tentang ungkapan – ungakapan mengenai ide – ide komprehensif).
  • Risalah al Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah(sebuah tulisan filosofis tentang rahasia – rahasia spiritual).
  • Risalah fi al-Ibanah an al-Illat al-Fa`ilat al-Qaribah li al-kawn wa al Fasad(tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakannya).  
DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmad hanafi,”pengantar filsafat islam”,bulan bintang, jakarta, 1996
  • H. abu bakar ahmad,dkk,”filsafat islam”,CV . Toha putra, semarang, 1998
  •  Ahmad fuad ,al-ahwani,” pustaka firdaus,1993,cet.v 
  • M. Syarif,” para filosof muslim”, Edisi indonesia, Mizan, 1996, cet. VIII
  • Hasyimsyah nasution,” filsafat islam”, Gaya media pratama, jakarta, 2002, cet III
______________________
[1] Ahmad hanafi,”pengantar filsafat islam”,bulan bintang, jakarta, 1996 cet. 6 .hal 3
[2] H. abu bakar ahmad,dkk,”filsafat islam”,CV . Toha putra, semarang, 1998, hal 116.
[3] Ahmad fuad, al-ahwani,” pustaka firdaus,1993,cet.v hal 50.
[4] M. Syarif,” para filosof muslim”, Edisi indonesia, Mizan, 1996, cet. VIII, hal 12.
[5] Hasyimsyah nasution,” filsafat islam”, Gaya media pratama, jakarta, 2002, cet III, hal 16.

Jika Anda Tidak dapat Melihat Daftar Pustaka atau Footnote dalam Makalah ini, Lihat tulisan Show, kemudian anda dapat mengarahkan Kursor dan klik saja tulisan show itu.

pemikiran ibnu rusdy

Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian pemikiran filsafat Ibnu Rusyd di atas belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara terperinci dan mendalam. Ibnu Rusyd merupakan filosof muslim yang kaya dengan khasanah pemikiran-pemikiran yang filosofis dan ilmiah, sehingga pemikiran dan karya-karyanya tidak hanya dihargai di dunia Islam namun juga di dunia Barat yang ditandai dengan munculnya gerakan Averroisme di Eropa. Penulis berkeyakinan bahwa filsafat itu penting, untuk mengenal Tuhan lebih dalam, selain pendekatan keimanan, maupun secara pendekatan ilmiyah dan logika. Filsafat Ibnu Rusyd menurut penulis tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali sebelumnya, namun berbeda pada penamaannya saja. Dalam perkataan lain tidak ada yang salah dengan pemikiran Ibnu Rusyd dan tidak menolak pula apa yang dijelaskan oleh al-Ghazali. Umat Islam jangan dan cepat mengambil kesimpulan dan latah dalam memahami dan menilai Ibnu Rusyh. Ia adalah ulama besar Islam yang patut dipuji yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemajuan Eropa dan umat Islam, kita berharap sosok Ibnu Rusyd bangkit di abad 21 ini.



A. PENDAHULUAN

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.

B. BIOGRAFI HIDUP DAN KARYANYA

Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.[1] Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz.[2]

Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis.[3] Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd hijrah ke Maroko, di sana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama, syari’at, dan kedokteran yang terkenal pada masa itu.[4] Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya yaitu kota Cordova.

Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam.[5] Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai mengalami kemunduran, akibat kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-masalah filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd dari non-muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd akhirnya mulai berkembang di Eropa secara perlahan-lahan walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang keras dari pihak Gereja. Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra.[6] Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:

Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-falasifah.

Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan metode-metode demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing).

Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]

Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali.
Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan.

Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran.
Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal.

Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan.
Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang.

Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.[8]

Buku-buku yang disebutkan di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.[9]

C. FILSAFAT IBNU RUSYD

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[10]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[11]

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

Agama dan Filsafat

Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kelompok lain.[12]

Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.[13] Dari sini dipahami bahwa Agama dan filsafat dalam pandangannya adalah sejalan dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Berfilsafat secara benar yaitu dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar pula, sehingga memunculkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dengan arti lain orang yang berfilsafat atau filosof menggunakan logika untuk mencari kebenaran, ukuran kebenaran menurut Rusyd adalah akal yang dihiasi oleh nilai-nilai agama.

Tingkat Kemampuan manusia

Dalam membuktikan kebenaran Ibnu Rusyd merumuskan perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Pertama adalah yang menggunakan metode retorik (khathabi). Kedua metode dialektik (jadali) dan ketiga metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.

Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbeda-beda dan beragam.[14] Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif. Allah berfiran dalam surat an-Nahl ayat 125 berbunyi:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[15]

Kebahagiaan

Konsep kebahagiaan Ibnu Rusyd sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan sarana untuk menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Ia menolak anggapan kaum sufi mengemukakan bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.[16]

Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, manusia sudah membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka kesiapan ini berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam ruh.[17]

Akal dan Jiwa Manusia

Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani.[18] Kedua gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal, pemahamannya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.

Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal.[19] Penulis yakin pendapat Rusyd logis dan tepat, fakta membuktikan perkembangan akal manusia menunjukkan benar adanya, buktinya dari sekian banyak manusia tidak semuanya berfikir sama dan cara mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada tingkat kecerdasan intelektualis manusia tersebut.

D. TANGGAPAN ATAS PENDAPAT AL-GHAZALI

Seperti diketahui, al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Sedikitnya ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali, menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Dari sini muncullah karyanya berjudul Tahafut al-tahafut sebagai sanggahan pendapat al-Ghazali, bahkan mengisayaratkan bahwa al-Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.

Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof menurut al-Ghazali ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam (juz’iyyat), dan kebangkitan jasmani. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.

1. Qadimnya Alam

Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada) sebagaimana pendapat al-Ghazali. Menurut Rusyd dari yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada, tetapi mungkin terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.[20] Lebih lanjut Rusyd mengatakan tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain Allah dan kemudian barulah dijadikan alam, seperti tersebut dalam surat Hud ayat 7 berikut ini:  

”Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya ".[21] (lihat juga Q.S. Fusilat ayat 11 dan al-Ambiya ayat 30 serta Ibrahim ayat 47-48).

Inti dari ayat di atas menurut pemahamn Ibnu Rusyd adalah sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud lain yaitu air atau uap, kemudian Allah menciptakan bumi dengan air atau uap tersebut. Memang alam ini betul diwujudkan atau diciptakan kata Rusyd, tetapi diwujudkan secara terus menerus, artinya penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan, semua bagian alam akan berubah dalam bentuk baru menggantikan bentuk lama. Pencipta alam hanya dilakukan sekali saja.

Adapun keabadian alam ini menurut Rusyd ada dua macam keabadian yaitu keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara. [22]

Penulis melihat perbedaan pendapat al-Ghazali dan teolog lainnya dengan pemikiran Ibnu Rusyd hanya pada penamaan saja, tetapi subtansinya tidak ada beda satu sama lain. Penulis yakin tidak ada yang salah dengan Ibnu Rusyd, barangkali berbeda sudut pandang saja. Andaikata mereka hidup dalam satu zaman mungkin perdebatan itu tidak akan terjadi, sebab mereka sendiri pada dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud yaitu: Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[23]

Sisi wujud yang kedua berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[24]

Ketiga sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat tersebut pada alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.[25]

2. Pengetahuan Tuhan

Dalam masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat (umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah salah paham terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan manusia.[26]

Pengetahuan manusia adalah mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh panca indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat-sifat kulliyat atau juz’iyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri. [27]

3. Kebangkitan Jasmani

Al-Ghazali menjelaskan dalam Tahafut al-Falasifah para filosof mengatakan bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Maksudnya manusia akan menerima balasan baik atau buruk adalah rohaninya bukan jasmani, sementara pandangan al-Ghazali adalah jasmani dan juga rohani.[28]

Menanggapi masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan pendapat para filosof merupakan ta’wil (interpretasi) yang tidak perlu dipermasalahkan karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini adanya hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi kebangkitannya.[29] Rusyd dalam hal ini cendrung berpendapat bahwa kemungkinan rohani saja, namun ada kemungkinan juga beserta jasmani, tetapi bukan lagi jasmani duniawi yang telah fana, tetapi jasmani lain.[30]

Sementara baik para filosof maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan adalah pada rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak ada yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi, jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.

E. GERAKAN AVERROISME DI EROPA

Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[31]

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[32] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[33]

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[34] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.[35]

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan)[36] atau Prima Causa menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[37] Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[38]

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa.[39] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.[40]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[41]

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Biografi Ibnu Rusyd dan Falsafahnya, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.
Daftar Pustaka dan Footnote

Jika Anda Tidak dapat Melihat Daftar Pustaka atau Footnote dalam Makalah ini, Lihat tulisan Show, kemudian anda dapat mengarahkan Kursor dan klik saja tulisan show itu.

Kumpulan Tokoh Filsafat Islam



   A.    Mulla Shadra
   1.      Biografi Mulla Sadra
Shadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya dijalani dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian dilanjutkan di Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu. Di sana, Mulla Shadra berguru kepada Baha' al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w. 1631) dan Mir Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640).
Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.
2.      Karya-Karya Mulla Sadra
Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak diantaranya; Al- Suhrawadi, Hikmah Al-Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Ibn sina, Al-Syifa bersanding dengan risalah-risalahnya tentang organization, Resurraction (Awal Penciptaan dan Hari Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya'ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme), dan "Hikmah Transedental", yang lebih dikenal sebagai "Empat Pengembaraan" (Al-Asfar Al-Arba'ah).
3.      Filsafat Mulla Sadra
Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.
Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.
Dalm konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Dan kategori kedua dimulai oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman dan para rahib Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di antara "tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles, Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang filsafat" Yunani  yang disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra, menerima "cahaya Hikmah" dari "mercusuar kenabian".
Inilah sebabnya, para filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan hari kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini, sosok metodologi
Mulla Shadra yang mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat dan tasawuf pada ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para nabi". Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri dari dua belas imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam kedua belas yang saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.

Empat perjalanan jiwa, seperti yang dikemukakan dalam Al-Asfar Al-Arba'ah,
adalah sebagai berikut:
·         Perjalanan dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
·         Perjalanan menuju Tuha melalui (bimbingan )Tuhan.
·         Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
·         Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara alam akal, atau "alam perintah", demikian para sufi menyebutnya, dan alam materiil, atau "alam ciptaan". Yang terakhir dimulai dengan garis lintas universal-yang memisahkan "alam akal" atau alam jiwa dengan alam materiil atau alam entitas-entitas indriawi.
Diagram berikut akan melukiskan hierarki atau "mata rantai wujud" dalam konsep
Mulla Shadra yang pada dasarnya mirip konsep Neoplatinos:
Cahaya Tertinggi
(Wajib Al Wujud)



   
Alam Perintah atau Entitas-Entitas Tunak
(Alam Kawruhan)
Bentuk-Bentuk Kawruhan
(Jiwa Manusia)
Falak Universal
(Falak Luar)
Alam Ciptaan
(Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya para filosof Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme dengan variasivariasi yang lebih bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki tujuan melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan subtil ini, status raga yang tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan dalam kondisi seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari bahasa Inggris ethereal, yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas luar angkasa.
   B.     Al-Razi
   1.      Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria bin Yahya Al-Razi. Dia lahir di Ray, dekat Teheran, Iran, pada 865 M/251 H. Al-Razi hidup di bawah pemerintahan Dinasti Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban al-Thabari, belajar ilmu filsafat pada al-Balkhi. Di samping itu, Al-Razi juga belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia. Di masa mudanya, Al-Razi hidup sebagai tukang intan, penukar mata uang, dan sebagai pemusik/pemetik kecapi. Al-Razi menulis hampir semua karyanya kecuali matematika
Al-Razi dikenal sebagai seorang pemberani dan pengeritik dogma-dogma Islam yang fundamental, seperti soal Al-Qur`an, kenabian, dan takdir. Buku Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah yang diduga kuat sebagai karyanya, menjadi sasaran kritik dari lawan-lawannya, seperti: 1) Abu Hatim Al-Razi (seorang teolog, ahli hadis, dan da’i beraliran Syi’ah Ismailiyah); 2) Abu Qasim al-Balkhi (seorang Mu’tazilah yang berbeda soal waktu dan zaman); dan 3) Ibnu Tammar yang menolak tulisan Al-Razi berjudul Al-Thibb Al-Ruhani.
Al-Razi meninggal pada 5 Sya’ban 313 H bertepatan dengan 27 Oktober 925 M karena menderita penyakit semacam katarak. Beberapa dokter menawarkannya untuk mengobati kebutaan matanya, tetapi Al-Razi menolaknya dengan berkata, “Sudah banyak dunia yang aku lihat, dan aku tidak ingin melihatnya kembali”.
2.      Filsafat Ar-Razi
Al-Razi dikenal dengan ajaran “Lima Kekal”, yaitu:
·         al-Bari Ta’ala (Allah): hidup dan aktif (dengan sifat independent).
·         al-Nafs al-Kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda` alqadim al-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya bersifat dependent. Al-Nafs al-Kulliyyah tidak berbentuk. Namun karena punya naluri untuk bersatu dengan al-Hayula al-Ula, maka al-Nafs al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan ruh untuk menempati benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Oleh karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
·         al-Hayula al-Ula (materi pertama): tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah substansi (jauhar) yang kekal yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Materi yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula al-Ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejab yg sangat sederhana dan mudah.
·         al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ‘tempat’ yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas sesuai keterbatasan maujud yang menempatinya. Sementara ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud.
·         al-Zaman al-Muthlaq (zaman absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau masa ada dua: relatif/terbatas yang bisaa disebut al-waqt dan zaman universal yang bisa disebut al-dahr. Yang terakhir ini (al-dahr) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.
3.      Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian
Sebagian dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada kenabian dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam dua buah karyanya, Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan Para Nabi atau Tipu Muslihat Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah? (Kritik atas Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya yang pertama mendapat sambutan cukup sukses di kalangan kelompok yang menyebarkan ajaran zindiq dan ateis, khususnya kaum Qaramithah (salah satu dari sekte-keagamaan Syi’ah–pen).
Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, “Yang lebih utama bagi hikmah
dan kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh hamba-Nya untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan kemudharatan, dan tidak boleh melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta tidak boleh terdapat pertentangan dan pertikaian di antara mereka sehingga menyebabkan kebinasaan. Hal ini lebih hati-hati dari pada Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya membenarkan sang imam (pemimpin) dan mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di antara mereka dan menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal ini”. Disebutkan pula bahwa Al-Razi mengatakan, “Para nabi tidak berhak mengaku diri mereka sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal maupun spiritual, karena seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt. adalah tidak boleh memberi keistimewaan seseorang atas lainnya”.
   C.    Al-Farabi
   1.      Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki.
   2.      Filsafat al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan danalam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
·         Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
·          Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II al-Kawākib (bintang-bintang).
·         Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III Saturnus.
·         Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV Jupiter.
·         Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V Mars.
·         Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI Matahari.
·         Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII Venus.
·         Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII Mercury.
·         Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX Bulan.
·         Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql alfa’āl (akal aktif) yang bisaanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib alsuwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
·         Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghadiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction).
·         Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hassah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination).
·         Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amali) dan akal teoretis (‘aql nazhari).
Menurut Al-Farabi, Nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar bisaa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
   D.    Al-Ghazali
   1.      Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata pencaharian ayahnya, tetapi ayah mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt. Sebelum ayahnya wafat, ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang pada itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.
2.      Karya-Karya al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
·         Maqashid-Al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
·         Tahafut Al-Filasafah (Kekacuaan Pikiran Para Filsuf), dikarang sewaktu berada di Bagdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
·         Mi’yar Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
·         Ihya ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama), merupakan karya terbesar Al-Ghazali.
·         Al-Munqidz Min Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan), merupakan sejarah alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
·         Al-Ma’arif Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
·         Misyakat Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
·         Minhaj Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
·         Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim (Nerca Yang Lurus).
3.      Filsafat al-Ghazali
a.      Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi”.
Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.
Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun), naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok pertama materialis, terdiri dari para filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
Kelompok kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kelompok ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka menyerang menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendaatnya diantara pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.
b.      Metafisika
Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.
Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
·         Alam qadim (tidak bermula).
·         Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
·         Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya,ungkapan ini bersifat metaforis.
·         Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam.
·         Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
·         Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
·         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
·         wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
·         Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
·         Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
·         Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal.
·         Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
·         Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
·         Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
·         Tujuan yang menggerakkan langit.
·         Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
·         Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
·         Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
·         Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
·         Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
·         Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
·         Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di dalam.
·         Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect) yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum penengkar. Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.
c.       Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
·         Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya.
·         Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
·         Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan,dan kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai Al-qur’an dan Hadits adalah surga.
d.      Jiwa
Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.
Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal. Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar.
   E.     Ibnu Maskawaih
   1.      Biografi Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Ia seorang sejarawan tabib, ilmuan dan sastrawan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong menganut aliran syi’ah. Maskawaih dilahirkan di Ray (Iran), pada 320H (932M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421H (16 Pebruari 1030M).
2.      Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Maskawaih dikenal terutama dalam keahliannya sebagai sejarawan dan filosuf, Maskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Maskawaih-lah yang pertama mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
·         Kitab Al-Fauz Al-Akbar, tentang etika.
·         Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika.
·         Kitab Tadzhib Al-Akhlaq Wa Rath-hir Al-‘Araq, tentang etika.
·         Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih
·         Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369H.
·         Kitab Al-Jami’, tentang ketabiban.
·         Kitab Al-Adawiyah, tentang obat-obatan.
·         Kitab Al-Asyribah, tentang minuman.
Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli filsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Ide dan pandangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan sarjana Islam yang tiada tolak bandingan pada zamannya.
3.      Filsafat Ibnu Maskawaih
a.      Hikmah dan Falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan , wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (Mumayyis). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) atau engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran sepiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Maskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian : bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Jika manusia memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
b.      Metafisika
Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwah). Sejarah lengkap metafisika Maskawaih dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al Ashghar.
·         Bukti-bukti adanya Tuhan pencipta
Membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu segi dapat dikatakan mudah, karena kebenaran ada-Nya telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas. Adapun segi kesukarannya ialah karena keterbatasan akal manusia. Maskawaih berusaha membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu Esa, azali (tanpa awal) dan bukannya materi (jism). Tuhan dapat diketahui dengan cara menidakkan (negative), bukan dengan cara positif. Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara langsung, sedang pembuktian secara negative adalah secara tidak langsung, Tuhan adalah bergerak, Tuhan adalah tidak Esa, Tuhan adalah diciptakan dan sebagainya.
Maskawaih menggunakan berbagai macam argument untuk menetapkan adanya Tuhan. Yang penting ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai dengan watak pembawa masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda), maka adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak yaitu Tuhan.
·         Jiwa (an-Nafs)
Maskawaih mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan Akal Aktif. Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu pancaindera. Kesatuan aqliah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berfikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiganya merupakan sesuatu yang satu.
Menurut Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkattingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
o   An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
o   An-Nafs al-sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
o   An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas utuh, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu.
·         Kenabian (An-Nubuwah)
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian:
o   Maskawaih membicarakan masalah-masalah tingkatan wujud dalam alam dan hubungannya satu sama lain.
o   Dibicarakannya pula manusia yang merupakan mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan mikrokosmos.
o   Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami perkembangan pancaindera meningkat menjadi kekuatan bersama.
o   Dibicarakan pula perihal wahyu dan cara diperolehnya.
o   Tentang perbedaan antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus akhirnya tentang perbedaan antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku sebagai nabi (mutanabbi).
c.       Teori evolusi
Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada di alam mengalami proses evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang nyata rantainya tidak terputus. Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana. Kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi.
Maskawaih mengemukakan betapa tinggi kedudukan para Nabi dibanding dengan manusia lainnya, dengan jalan terlebih dulu mengungkapkan proses evolusi. Maskawaih menetapkan adanya tipe manusia yang memang sanggup sampai ke tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yang memperoleh kebenaran-kebenaran yang hakiki tidak dengan jalan berpikir, tetapi dengan jalan wahyu, yaitu para nabi. Nabi tingkatnya lebih tinggi dari filosof.
d.      Dasar-dasar Etika
Sebagai bapak etika Islam, Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (Al Mu’allim Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang digelari Guru Kedua (Al-Mu’allim Al-Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (Al-Mu.allim Al-Awwal) adalah Aristoteles. Teorinya tentang etika secara runic ditulis dalam kitab Tahzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘arq (pendidikan budi dan pembersihan watak). Mengenai teori etika Maskawaih, dalam kesempatan ini hanya akan disajikan dasar-dasarnya saja, yaitu:
·         Unsur-Unsur Etika Maskawaih
Teori Etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia ajaran syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Usaha Maskawaih adalah mempertemukan ajaran syariat Islam dengan teori-teori etika dalam filsafat, setelah berusaha mempertemukan antara berbagai macam teori etika dalam filsafat.
·         Pengertian Akhlak
Kata akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata lain khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan . Perikeadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula merupakan hasil latihan membisaakan diri. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya. Dari sini pula Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlak.
·         Keutamaan (fadhilah)
Maskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah atau syahwiyah , (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpuh pada kemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat segala sesuatu.
Keselarasan antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut. Dengan demikian keutamaan-keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom), ’iffah (kesucian), syaja’ah (keberanian) dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas, kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat; keutamaan lahir jika manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal yang sehat, hingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya. Keberanian adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (shabu’iyah”). Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam keutamaan tersebut diatas:
o   Kebahagiaan (sa’adah)
o   Cinta ( mahabbah)
o   Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak
·         Perihal Kematian
Adanya kematian itu merupakan bukti keadilan tuhan terhadap hamba-Nya, tidak ada alasan untuk takut mati. Rasa takut semacam itu akan mengganggu ketentraman dan kebahagiaan hidup. Takut mati yang merupakan penyakit jiwa itu dapat terjadi karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
o   Tidak mengetahui hakikat kematian.
o   Tidak mengetahui kesudahan jiwa.
o   Tidak mengetahui kekekalan jiwa.
o   Mempunyai sangkaan bahwa kematian itu merupakan sakit yang amat berat, melebihi pedihnya sakit yang mendahuluinya.
o   Adanya kebingungan, karena tidak tahu apa yang akan dialaminya setelah mati.
o   Karena adanya rasa berat untuk bercerai dengan yang disenanginya, yaitu keluarga, anak, harta benda dan kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya.
Agar orang jangan sampai takut mati harus diatasi dengan rasa sebagai berikut:
o   Orang harus mengetahui bahwa mati itu hakikatnya tidak lebih daripada jiwa yang menghentikan penggunaan alatnya.
o   Orang harus mengetahui bahwa sebenarnya mati itu ada dua macam: mati iradi dan mati alami. Mati iradi adalah mematikan keinginan-keinginan (syahwat) dan meninggalkan usaha memenuhi tuntutan-tuntutannya sedang mati alami adalah terpisahnya jiwa dari badan.
o   Orang harus mengetahui benar bahwa mati hanyalah peristiwa badaniah  yang menjadi jalan pelepasan jiwa dan penghormatan bagi jiwa.
o   Orang harus menyadari bahwa rasa sakit itu hanya berada pada orang hidup dan orang hidup itulah yang menerima bekas jiwa yang ada pada badannya.
o   Orang yang merasa takut mati karena takut akan tertimpa hukuman setelah mati harus menyadari bahwa yang ditakuti itu sebenarnya bukan matinya tetapi siksanya yang mungkin diderita setelah mati.
o   Pengalaman manusia setelah mati patut ditakuti.
o   Orang tidak boleh kuatir akan berpisah dengan keluarganya, anak dan harta benda, sebab semuanya tidak akan kekal.
   F.     Ibnu Rusyd
   1.      Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam. Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai Averroes. Keturunannya terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya merupakan kadi di Kardova.
Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula apabila Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyadari kesilapan yang dilakukannya. Namun, segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat dikecapi karena beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahwu. Antara karya besar yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah "Kulliyah fit-Thibb" yang mengandungi jilid, mengenai perubatan secara umum, MabadilFalsafah (Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama.
2.      Filsafat Ibnu Rusyd
Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai perkara tersebut. Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan.
Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja. Kehebatannya dalam bidang perubahan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.
Pembahagian strata sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian, seperti Karl Max dan mereka yang sealiran dengannya. Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak syak lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya. Malahan dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika dibandingkan dengan ahli falsafah yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun selepas kematiannya.
   G.    Ibnu Sina
   1.      Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu. Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.
Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang unik.
2.      Filsafat Ibnu Sina
Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan ensiklopedi filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam. Ibnu Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik maupun secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar, belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037 dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana.
  
Sumber Bacaan
·         Jamaluddin al-Qafthi, Akhbar al-‘Ulama bi Akhbar al-Hukama’, Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.
·         Naiati M Ustman. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah
·         Nasition Harun. 1973. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
·         Soleh A Khudri. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Fakhry Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan
·         Hanafi Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
·         http://Halid.nurislami.com
·         http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html