Friday, May 10, 2013

HUKUM LEASING



  • BAB I PENDAHULUANLatar Belakang Masalah Saat ini telah berkembang luas praktek transaksi pembelian motor secara kredit baikyang dilakukan dengan model transaksi leasing ataupun dengan transaksi yang bersifatsyariah yang mayoritasnya menggunakan transaksi murâbahah. Hanya saja luasnyapemakaian kedua jenis transaksi tersebut tidak disertai dengan luasnya pengetahuanmasyarakat terhadap keduanya dan hukum Islam tentangnya. Leasing menurut peraturan yang ada disebut juga Sewa-guna-usaha. Dalam kep.Menkeu no. 1169/KMK.01/1999 tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing) dinyatakan:”Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barangmodal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktutertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.” Yang dimaksud dengan opsi adalah hakLessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangkawaktu perjanjian sewa-guna-usaha. Bagaimana hukum leasing? Contoh, seseorang membeli sepeda motor dengan sistemleasing. Jika dalam beberapa bulan tidak bisa membayar cicilan atau telat membayar cicilan,maka akan didenda bahkan jika tidak mampu membayar cicilan lagi, sepeda motor itu akandiambil kembali oleh dealer. Bagaimana hukum jual-beli seperti ini? 1
  • BAB II PEMBAHASANA. Pengertian Leasing Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barangdalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua katagori global, yaitu operating lease danfinancial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untukmendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetapmerupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengankonsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak adamasalah. Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barangtersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewapihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milikpemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bilapada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebutmenjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhirpenyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financiallease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapaleasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli. Leasing dalam tulisan ini dikhususkan padapembahasan financial leasing atau sewa-beli ini.B. Beberapa Persoalan dalam Sewa-Beli Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentukmuamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai disini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli,serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah. Pertama, perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbedaantara sewa dengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatumanfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanyaberupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanyamanfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetapmerupakan hak milik pihak pemberi sewa. Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar‟iy, jual-beli (al bai‟) merupakanmubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan „ala sabilit taradhi, yaitu pertukaranantara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atasdasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akanmenjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihakpembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapatkontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara 2
  • sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi.Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli. Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang,sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masapenyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual kepembeli dan dari pembeli ke penjual. Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu aktivitasmuamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akadtertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan Rasulullah SAW. Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbedadalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan „Sayamenjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang diPuncak pada saya‟, „Saya menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Andamenikahkan putri Anda kepada saya‟, atau „Saya menjual barang ini dengan harga 10 jutarupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapatmelunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Andaberikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.‟ Di dalam muamalahtadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembelirumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeliperusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akadtertentu. Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi. Berdasarkan hal ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secaraumum dikenal dengan istilah „leasing‟ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu prosesmuamalah tertentu. Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW. Padahal, dalamsyariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktupenyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itudilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utangpembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapatdialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa. Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkanpemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa. Terlebih-lebih bila pihakpembeli merasa mencicil barang dengan harga „pembelian‟. Di tegah jalan, karena sesuatuhal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya padaakhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal, tentu saja, hargasewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli dengan cicilan. Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itumelibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkanjual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).C. Alternatif Allah SWT telah menurunkan aturan yang memenuhi rasa keadilan manusia.Kaitannya dengan jual-beli dengan kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebutdengan Bai‟ Bitsaman Ajil (BBA). Bai‟ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses perjanjian jual 3
  • untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkanbarang seketika, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yangdisepakati bersama. Secara ringkas, penjual dan pembeli menyepakati total harga barangtersebut, lama waktu pembayarannya, dan pembayaran tiap bulannya tanpa disertai bunga.Sejak terjadi transaksi, barang tersebut resmi menjadi milik pembeli, hanya saja iamenanggung hutang seharga barang tersebut kepada pihak penjual. Untuk berjaga-jaga, dapatditentukan adanya barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan tersebut. Bilapihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam waktu yang disepakatitidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun pemberian sanksi. Salah satu jalanyang ditempuh adalah barang tadi (bila sebagai jaminan) dijual. Hasilnya, sebagiandigunakan untuk melunasi sisa hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihakpembeli. BBA sebenarnya merupakan salah satu bentuk jual-beli dengan cicilan/kredit (Al Bai‟bid Dain wa bit Tqsith). Jual beli dengan hutang ini dibenarkan secara syar‟iy.Beberapa aturan Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :1. Firman Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai‟ bersifat umum. Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan keharamannya.2. Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. Jadi, ringkasnya, muamalah ada beberapa hal dalam leasing yang tidak sesuai dengansyari‟at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah alternatif yang manfaat dan kegunaannyasama, serta legal menurut syari‟at Islam. Alternatif dimaksud adalah al bai‟ bid dain (jual-belidengan hutang) yang salah satu turunannya adalah bai‟ bitsaman ajil 4
  • BAB III  Fakta Akad Ganda dalam LeasingØHUKUM AKAD Salah satu model dari leasing adalah transaksi pembiayaan pengadaan barang modaluntuk digunakan oleh lessee (yang menerima pembiayaan leasing) selama jangka waktutertentu dan diakhir jangka waktu itu pemilikan barang berpindah secara otomatis kepadalessee. Leasing model inilah yang banyak dilakukan dalam leasing pembiayaan motor,mobil, barang elektronik, furnitur dll, yang diberikan oleh berbagai bank atau lembagapembiayaan. Praktek yang biasa terjadi dapat dideskripsikan seperti berikut (misal barangnyaadalah motor): Seseorang sebut saja Fulan datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membelimotor secara kredit karena ia tidak memiliki uang untuk membelinya secara tunai. Laluterjadilah pembicaraan dengan lembaga itu dan dilakukan akad leasing. Misalnya, jangkawaktunya tiga tahun. Dalam akad leasing itu setidaknya ada transaksi: 1. Lessor (lembaga pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli, lalu dia sewakan kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun 2. Lessor sepakat bahwa setelah jangka waktu tiga tahun itu dan seluruh angsuran lunas dibayar, lessee (Fulan) akan langsung memiliki motor tersebut. 3. Menurut pengertian leasing yang ada, selama jangka waktu tiga tahun itu yaitu sampai seluruh angsuran lunas, motor tersebut adalah milik Lessor. Setelah berakhir yaitu setelah seluruh angsuran lunas, langsung terjadi perpindahan pemilikan motor itu kepada Lessee (Fulan), artinya motor itu langsung menjadi milik Lessee (Fulan). Hanya saja dalam praktek yang ada, sejak penyerahan fisik motor kepada Lessee yaitu sejak awal, biasanya STNK motor itu atas nama Lessee (Fulan). Nama STNK mengikuti BPKB. Jadi BPKB motor itu juga atas nama Lessee. Itu artinya motor itu sejak awal adalah milik Lessee (Fulan). 4. Ada ketentuan tentang jaminan dimana motor itu dijadikan jaminan secara fidusia untuk leasing tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor sampai berakhir jangka waktu leasing dan seluruh angsuran lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan  Hukum Akad GandaØditarik oleh lessor dan dijual. Mengamati fakta di atas maka terlihat bahwa dalam transaksi leasing terjadi duatransaksi atau akad dalam satu akad/transaksi. Yaitu transaksi sewa menyewa (ijârah) dantransaksi jual beli (bay’). Transaksi yang demikian menyalahi ketentuan syariah. IbnMas‟ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda: rRasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu akad (HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani) 5
  • Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin(adanya dua akad dalam satu akad)1. Contohnya jika seseorang berkata “saya jual motor sayakepada Anda dengan syarat Anda sewakan rumah anda kepada saya”. Dalam ungkapan initerjadi dua transaksi karena lafal “saya jual motor saya kepada anda” adalah transaksipertama dan “anda sewakan rumah anda kepada saya” adalah transaksi kedua, dan keduatransaksi/akad itu berkumpul/terjadi dalam satu akad. Dalam leasing model ini yang terjadiadalah akad sewa dan akad jual beli. Akad sewa dalam hal ini jelas, karena sewa itu memangmenjadi inti dari leasing. Adapun akad jual beli hal itu nampak karena pada saat akad leasingdi dalamnya disepakati adanya perpindahan pemilikan barang secara langsung/otomatisbegitu jangka waktu leasing selesai dan seluruh angsuran dibayar lunas. Lebih tepatnya lagidalam leasing model ini terjadi transaksi ijârah dan transaksi bay’ dalam satu akad leasing,terhadap satu barang yang sama yaitu motor, dalam satu waktu yang sama pula. Jelas hal inimenyalahi hadis Nabi saw di atas. Di dalam akad leasing model ini, transaksi pengalihan pemilikan barang tersebut(motor) disyaratkan kepada transaksi/akad sewa menyewa dan sebaliknya transaksi sewamenyewa disyaratkan dengan transaksi pemindahan pemilikan itu. Hal itu karena dalam akadleasing model ini, lessee tidak bisa hanya menyepakati satu transaksi saja. Lessee tidak bisahanya menyewa motor itu saja atau membelinya saja. Tetapi Lessee harus menyewa motoritu sekaligus membelinya. Fakta seperti itu yaitu menyaratkan akad atau transaksi lainkepada transaksi atau akad yang dilakukan adalah melanggar larangan dari Rasul saw. Beliaupernah bersabda:Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halalkeuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yangbukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni) Menurut para fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth yaitu salah satu pihak dalam akad bay‟-nya mensyarat kepada pihak lain akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay‟ lainnya, atau yang lain. Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak halal)”. Ini adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang itu adalah haram, karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram. Dengan demikian akad yang di dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan akad/transaksi lain, merupakan akad/transaksi yang batil.1 Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsyiah Al-Islamiyah, II/263-264 6
  • KESIMPULAN Leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktutertentu. perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewadengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat daribarang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang(‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yangdikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hakmilik pihak pemberi sewa. Sedangkan jual beli merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan„ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang)untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan halini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang ataubarang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Prosesjual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhakmemiliki barang pada akhir masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewasangat berbeda dengan akad pada jual-beli 7

Kompilasi hukum ekonomi islam di Indonesia

Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika tidak diselesaikan di lembaga arbitrase.

Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :

a. Bank syariah,

b.Lembaga keuangan mikro syari’ah,

c. asuransi syari’ah,

d. reasurasi syari’ah,

e. reksadana syari’ah,

f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,

g. sekuritas syariah,

h. Pembiayaan syari’ah,

i. Pegadaian syari’ah,

j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan

k. bisnis syari’ah

Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah bahwa rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syariah belum tersedia dalam bentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana yang terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf , washiat dan hibah. KHI dalam bidang-bidang ini telah dikeluarkan melalui Inpres No 1/1991.Urgensi pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga dikarenakan hukum fiqh tentang aspek muamalah ini sangat beragam, apalagi persoalan muamalah ini adalah persoalan yang lebih terbuka bagi ijttihad, dibanding masalah ibadah. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum, sehingga keputusan para hakim di berbagai pengadilan tidak berbeda-beda dalam kasus yang sama.

Materi Dasar Kompilasi

Peraturan Bank Indonesia (PBI) sangatlah tidak memadai untuk dijadikan rujukan dalam memutus perkara ekonomi syariah, karena peraturan yang dikeluarkanya hanya berkaitan dengan masalah perbankan, sedangkan masalah hukum ekonomi syariah lainnya tidak diatur, karena bukan wewenangnya. Demikian pula fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah berjumlah 54 fatwa. Selain kedudukakannya secara konstitusisonal tidak kuat dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, fatwa tersebut juga masih sangat ringkas, karena hanya berupa intisari (matan) yang membutuhkan penjelasan rinci. Namun demikian, baik PBI maupun fatwa DSN bisa dijadikan sebagai salah satu materi penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Materi penyusunan KHI juga dapat merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani. yang disebut dengan Al-Majjalah Al-Adliyah Al-Ahkam yang terdiri dari 1851 Pasal. KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas materi dan bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini

Indonesia seyogianya membuat Kitab-Undang-Undang dalam bentuk Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam sebagaimana yang dilakukan Turki Usmani. Namun upaya tersebut saat ini, tampaknya masih sulit diwujudkan karena prosesnya panjang, baik di dalam persiapan materi, apalagi pembahasan di lembaga legislatif. Oleh karena itu, kita akan merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang dapat dikeluarkan melalui inpres atau kepres. Di masa depan, kedudukan Kompilasi ini seharusnya ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP), sehingga secara hirarkis kedudukannya satu tingkat di bawah Undang-Undang.

Peran Pemerintah

Upaya penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah, sebagaimana telah diterapkan pada penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini (Inpres No 1/1991). Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM melalui BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bekerjasama dengan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, membentuk Tim penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. BPHN dan UIN Jakarta bersinergi dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang merupakan ara dosen Pascasarjana UI. Upaya ini mendesak dilakukan mengingat praktek ekonomi syariah telah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia dalam bentuk perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi sariah, pegadaian syariah, lembaga keuangan mikro syariah dan sejumlah perusahaan sektor riil syariah.

Metodologi

Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam, Disiplin ushul fiqh ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum ekonomi Islam tsb. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi syariah..

Bentuk ijtihad yang digunakan adalah ijtihad jama’iy yaitu berijtihad secara kolektif, di mana para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syariah merumuskan dan menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Islam tersebut secara bersama-sama, sehingga kekuatan hukumnya jauh lebih kuat dan akurat..

Penutup

Kemestian hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syariah di Indonesia dipandang sangat mendesak, karena ekonomi syariah telah dipratekkan dalam masyarakat. Jangan sempat terjadi kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syariah atau masih memadakan KUH Perdata konvensional yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan kolonial. BW tersebut masih banyak tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bahkan juga tidak sesuai dengan jiwa hukum ekonomi syariah. Meskipun demikian, mungkin saja ada klausa-klausa yang masih relevan. Dalam hal ini kita terapkan Al-Muhafazah ’alal qadim ash-sholih wal-akhzu bil jadid al-ashlah (artinya, memelihara hukum masa lalu yang relevan dan mengandung kemaslahatan dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahah).

*Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI

sumber : pesantrenvirtual.com


Monday, May 6, 2013

makalah tentang leasing