- BAB I PENDAHULUANLatar
Belakang Masalah Saat ini telah berkembang luas praktek transaksi
pembelian motor secara kredit baikyang dilakukan dengan model transaksi
leasing ataupun dengan transaksi yang bersifatsyariah yang mayoritasnya
menggunakan transaksi murâbahah. Hanya saja luasnyapemakaian kedua jenis
transaksi tersebut tidak disertai dengan luasnya pengetahuanmasyarakat
terhadap keduanya dan hukum Islam tentangnya. Leasing menurut peraturan
yang ada disebut juga Sewa-guna-usaha. Dalam kep.Menkeu no. 1169/KMK.01/1999
tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing) dinyatakan:”Sewa-guna-usaha
(Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barangmodal
baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun
sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh
Lessee selama jangka waktutertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.”
Yang dimaksud dengan opsi adalah hakLessee untuk membeli barang modal yang
disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangkawaktu perjanjian sewa-guna-usaha.
Bagaimana hukum leasing? Contoh, seseorang membeli sepeda motor dengan
sistemleasing. Jika dalam beberapa bulan tidak bisa membayar cicilan atau
telat membayar cicilan,maka akan didenda bahkan jika tidak mampu membayar
cicilan lagi, sepeda motor itu akandiambil kembali oleh dealer. Bagaimana
hukum jual-beli seperti ini? 1
- BAB II PEMBAHASANA.
Pengertian Leasing Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk
menyewa sesuatu barangdalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua
katagori global, yaitu operating lease danfinancial lease. Operating lease
merupakan suatu proses menyewa suatu barang untukmendapatkan hanya manfaat
barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetapmerupakan
milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan
dengankonsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam
diperbolehkan dan tidak adamasalah. Adapun financial lease merupakan suatu
bentuk sewa dimana kepemilikan barangtersebut berpindah dari pihak pemberi
sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewapihak penyewa tidak dapat
melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milikpemberi sewa
(perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan
bilapada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang
tersebutmenjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan
alasan hadiah pada akhirpenyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan
alasan lainnya. Intinya, dalam financiallease terdapat dua proses akad
sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapaleasing bentuk
ini disebut sebagai sewa-beli. Leasing dalam tulisan ini dikhususkan
padapembahasan financial leasing atau sewa-beli ini.B. Beberapa Persoalan
dalam Sewa-Beli Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli
terdapat dua bentukmuamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan.
Sewa sekaligus beli. Sampai disini terdapat minimal dua persoalan yang
memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli,serta kedudukan dua akad
sekaligus dalam suatu proses muamalah. Pertama, perbedaan sewa dan beli.
Dalam hukum muamalah Islam sangat berbedaantara sewa dengan beli. Sewa
(ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatumanfaat dari barang,
jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanyaberupa uang
(‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan
hanyamanfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya
itu sendiri tetapmerupakan hak milik pihak pemberi sewa. Hal ini berbeda
sekali dengan jual beli. Secara syar‟iy, jual-beli (al bai‟)
merupakanmubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan „ala sabilit
taradhi, yaitu pertukaranantara suatu barang dengan barang lain (termasuk
uang) untuk pertukaran kepemilikan di atasdasar saling meridloi satu sama
lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akanmenjadi milik
dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari
pihakpembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli
ini, tentu saja, dapatkontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan
(kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara 2
- sewa dengan beli terletak
pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi.Dengan
demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada
jual-beli. Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh
pihak pemilik barang,sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan
barang tersebut selama masapenyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung
pada pertukaran kepemilikan dari penjual kepembeli dan dari pembeli ke penjual.
Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu
aktivitasmuamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam
suatu proses akadtertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang
larangan Rasulullah SAW. Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang
melakukan dua akad berbedadalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak
boleh, misalnya, seseorang menyatakan „Sayamenjual rumah saya ini kepada
Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang diPuncak pada saya‟, „Saya
menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Andamenikahkan putri Anda
kepada saya‟, atau „Saya menjual barang ini dengan harga 10 jutarupiah
pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda
tidak dapatmelunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan
uang yang telah Andaberikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda
menggunakannya.‟ Di dalam muamalahtadi terdapat dua akad sekaligus,
menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembelirumahnya dalam satu akad, menjual
perusahaan sekaligus menikahi putri pembeliperusahaannya dengan hanya satu
akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akadtertentu. Semua ini
bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi. Berdasarkan hal ini
nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secaraumum dikenal
dengan istilah „leasing‟ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu
prosesmuamalah tertentu. Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah
SAW. Padahal, dalamsyariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku
sewa sampai batas akhir waktupenyewaan. Demikian pula, suatu akad
jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itudilakukan dengan
mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utangpembeliannya
pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak
dapatdialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak
mengunggulkanpemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan
penyewa. Terlebih-lebih bila pihakpembeli merasa mencicil barang dengan
harga „pembelian‟. Di tegah jalan, karena sesuatuhal, ia tidak mampu
melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya padaakhir
cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal,
tentu saja, hargasewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli
dengan cicilan. Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila
dalam cicilannya itumelibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan
: “Dan Allah telah menghalalkanjual beli serta mengharamkan seluruh riba”
(QS. Al Baqarah [2] : 275).C. Alternatif Allah SWT telah menurunkan aturan
yang memenuhi rasa keadilan manusia.Kaitannya dengan jual-beli dengan
kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebutdengan Bai‟
Bitsaman Ajil (BBA). Bai‟ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses perjanjian
jual 3
- untuk barang tertentu antara
pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkanbarang
seketika, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu
yangdisepakati bersama. Secara ringkas, penjual dan pembeli menyepakati
total harga barangtersebut, lama waktu pembayarannya, dan pembayaran tiap
bulannya tanpa disertai bunga.Sejak terjadi transaksi, barang tersebut
resmi menjadi milik pembeli, hanya saja iamenanggung hutang seharga barang
tersebut kepada pihak penjual. Untuk berjaga-jaga, dapatditentukan adanya
barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan tersebut. Bilapihak
pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam waktu yang
disepakatitidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun
pemberian sanksi. Salah satu jalanyang ditempuh adalah barang tadi (bila
sebagai jaminan) dijual. Hasilnya, sebagiandigunakan untuk melunasi sisa
hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihakpembeli. BBA
sebenarnya merupakan salah satu bentuk jual-beli dengan cicilan/kredit (Al
Bai‟bid Dain wa bit Tqsith). Jual beli dengan hutang ini dibenarkan secara
syar‟iy.Beberapa aturan Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :1. Firman
Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai‟ bersifat umum. Artinya
semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan
keharamannya.2. Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan
hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan. Jadi,
ringkasnya, muamalah ada beberapa hal dalam leasing yang tidak sesuai
dengansyari‟at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah alternatif yang
manfaat dan kegunaannyasama, serta legal menurut syari‟at Islam.
Alternatif dimaksud adalah al bai‟ bid dain (jual-belidengan hutang) yang
salah satu turunannya adalah bai‟ bitsaman ajil 4
- BAB III Fakta Akad Ganda dalam LeasingØHUKUM
AKAD Salah satu model dari leasing adalah transaksi pembiayaan pengadaan
barang modaluntuk digunakan oleh lessee (yang menerima pembiayaan leasing)
selama jangka waktutertentu dan diakhir jangka waktu itu pemilikan barang
berpindah secara otomatis kepadalessee. Leasing model inilah yang banyak
dilakukan dalam leasing pembiayaan motor,mobil, barang elektronik,
furnitur dll, yang diberikan oleh berbagai bank atau lembagapembiayaan.
Praktek yang biasa terjadi dapat dideskripsikan seperti berikut (misal
barangnyaadalah motor): Seseorang sebut saja Fulan datang ke lembaga
pembiayaan dan ingin membelimotor secara kredit karena ia tidak memiliki
uang untuk membelinya secara tunai. Laluterjadilah pembicaraan dengan
lembaga itu dan dilakukan akad leasing. Misalnya, jangkawaktunya tiga
tahun. Dalam akad leasing itu setidaknya ada transaksi: 1. Lessor (lembaga
pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli, lalu dia sewakan kepada
lessee selama jangka waktu tiga tahun 2. Lessor sepakat bahwa setelah
jangka waktu tiga tahun itu dan seluruh angsuran lunas dibayar, lessee
(Fulan) akan langsung memiliki motor tersebut. 3. Menurut pengertian
leasing yang ada, selama jangka waktu tiga tahun itu yaitu sampai seluruh
angsuran lunas, motor tersebut adalah milik Lessor. Setelah berakhir yaitu
setelah seluruh angsuran lunas, langsung terjadi perpindahan pemilikan
motor itu kepada Lessee (Fulan), artinya motor itu langsung menjadi milik
Lessee (Fulan). Hanya saja dalam praktek yang ada, sejak penyerahan fisik
motor kepada Lessee yaitu sejak awal, biasanya STNK motor itu atas nama
Lessee (Fulan). Nama STNK mengikuti BPKB. Jadi BPKB motor itu juga atas
nama Lessee. Itu artinya motor itu sejak awal adalah milik Lessee (Fulan).
4. Ada ketentuan tentang jaminan dimana motor itu dijadikan jaminan secara
fidusia untuk leasing tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di
tangan lessor sampai berakhir jangka waktu leasing dan seluruh angsuran
lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran
sampai lunas, motor akan Hukum Akad
GandaØditarik
oleh lessor dan dijual. Mengamati fakta di atas maka terlihat bahwa dalam
transaksi leasing terjadi duatransaksi atau akad dalam satu
akad/transaksi. Yaitu transaksi sewa menyewa (ijârah) dantransaksi jual
beli (bay’). Transaksi yang demikian menyalahi ketentuan syariah.
IbnMas‟ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda: rRasulullah saw
melarang dua transaksi dalam satu akad (HR. Ahmad, al-Bazar dan
ath-Thabrani) 5
- Makna shafqatayn fî shafqatin
wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin(adanya dua akad dalam satu
akad)1. Contohnya jika seseorang berkata “saya jual motor sayakepada Anda
dengan syarat Anda sewakan rumah anda kepada saya”. Dalam ungkapan
initerjadi dua transaksi karena lafal “saya jual motor saya kepada anda”
adalah transaksipertama dan “anda sewakan rumah anda kepada saya” adalah
transaksi kedua, dan keduatransaksi/akad itu berkumpul/terjadi dalam satu
akad. Dalam leasing model ini yang terjadiadalah akad sewa dan akad jual
beli. Akad sewa dalam hal ini jelas, karena sewa itu memangmenjadi inti
dari leasing. Adapun akad jual beli hal itu nampak karena pada saat akad
leasingdi dalamnya disepakati adanya perpindahan pemilikan barang secara
langsung/otomatisbegitu jangka waktu leasing selesai dan seluruh angsuran
dibayar lunas. Lebih tepatnya lagidalam leasing model ini terjadi
transaksi ijârah dan transaksi bay’ dalam satu akad leasing,terhadap satu
barang yang sama yaitu motor, dalam satu waktu yang sama pula. Jelas hal inimenyalahi
hadis Nabi saw di atas. Di dalam akad leasing model ini, transaksi
pengalihan pemilikan barang tersebut(motor) disyaratkan kepada
transaksi/akad sewa menyewa dan sebaliknya transaksi sewamenyewa
disyaratkan dengan transaksi pemindahan pemilikan itu. Hal itu karena
dalam akadleasing model ini, lessee tidak bisa hanya menyepakati satu
transaksi saja. Lessee tidak bisahanya menyewa motor itu saja atau
membelinya saja. Tetapi Lessee harus menyewa motoritu sekaligus
membelinya. Fakta seperti itu yaitu menyaratkan akad atau transaksi
lainkepada transaksi atau akad yang dilakukan adalah melanggar larangan
dari Rasul saw. Beliaupernah bersabda:Tidak halal salaf dan jual beli,
tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halalkeuntungan selama
(barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yangbukan
milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni) Menurut para
fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth
yaitu salah satu pihak dalam akad bay‟-nya mensyarat kepada pihak lain
akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay‟ lainnya, atau
yang lain. Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak
halal)”. Ini adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang
itu adalah haram, karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram. Dengan
demikian akad yang di dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan
akad/transaksi lain, merupakan akad/transaksi yang batil.1 Taqiyuddin
An-Nabhani, Asy-Syakhsyiah Al-Islamiyah, II/263-264 6
- KESIMPULAN Leasing merupakan
suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktutertentu.
perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara
sewadengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan
suatu manfaat daribarang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi
tertentu, biasanya berupa uang(‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi,
pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yangdikandung oleh barang yang
disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hakmilik pihak
pemberi sewa. Sedangkan jual beli merupakan mubadalatu malin bi malin
tamlikan wa tamallukan„ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu
barang dengan barang lain (termasuk uang)untuk pertukaran kepemilikan di
atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan halini, barang dari
pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang
ataubarang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik
pihak penjual. Prosesjual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula
dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara
sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhakmemiliki barang pada akhir
masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewasangat
berbeda dengan akad pada jual-beli 7
Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No
7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi
syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang
ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika tidak diselesaikan di lembaga
arbitrase.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi
syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi
syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah,
b.Lembaga keuangan mikro syari’ah,
c. asuransi syari’ah,
d. reasurasi syari’ah,
e. reksadana syari’ah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syari’ah,
i. Pegadaian syari’ah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
k. bisnis syari’ah
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah bahwa rujukan para hakim dalam
memutuskan perkara ekonomi syariah belum tersedia dalam bentuk Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah sebagaimana yang terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf
, washiat dan hibah. KHI dalam bidang-bidang ini telah dikeluarkan melalui
Inpres No 1/1991.Urgensi pembentukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga
dikarenakan hukum fiqh tentang aspek muamalah ini sangat beragam, apalagi
persoalan muamalah ini adalah persoalan yang lebih terbuka bagi ijttihad,
dibanding masalah ibadah. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum, sehingga
keputusan para hakim di berbagai pengadilan tidak berbeda-beda dalam kasus yang
sama.
Materi Dasar Kompilasi
Peraturan Bank Indonesia (PBI) sangatlah tidak memadai untuk dijadikan
rujukan dalam memutus perkara ekonomi syariah, karena peraturan yang
dikeluarkanya hanya berkaitan dengan masalah perbankan, sedangkan masalah hukum
ekonomi syariah lainnya tidak diatur, karena bukan wewenangnya. Demikian pula
fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional yang telah berjumlah 54 fatwa. Selain
kedudukakannya secara konstitusisonal tidak kuat dalam hirarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, fatwa tersebut juga masih sangat ringkas,
karena hanya berupa intisari (matan) yang membutuhkan penjelasan rinci. Namun
demikian, baik PBI maupun fatwa DSN bisa dijadikan sebagai salah satu materi
penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Materi penyusunan KHI juga dapat merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani. yang disebut
dengan Al-Majjalah Al-Adliyah Al-Ahkam yang terdiri dari 1851 Pasal. KUH
Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas materi dan bahasannya
disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini
Indonesia seyogianya membuat Kitab-Undang-Undang dalam bentuk Kodifikasi
Hukum Ekonomi Islam sebagaimana yang dilakukan Turki Usmani. Namun upaya
tersebut saat ini, tampaknya masih sulit diwujudkan karena prosesnya panjang,
baik di dalam persiapan materi, apalagi pembahasan di lembaga legislatif. Oleh
karena itu, kita akan merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang dapat
dikeluarkan melalui inpres atau kepres. Di masa depan, kedudukan Kompilasi ini
seharusnya ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP), sehingga secara
hirarkis kedudukannya satu tingkat di bawah Undang-Undang.
Peran Pemerintah
Upaya penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini dapat terwujud melalui
peran penting pemerintah, sebagaimana telah diterapkan pada penyusunan
Kompilasi Hukum
Islam yang ada sekarang ini (Inpres No 1/1991). Untuk itu, pemerintah
Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM melalui BPHN (Badan Pembinaan
Hukum Nasional) bekerjasama dengan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta, membentuk Tim penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. BPHN
dan UIN Jakarta bersinergi dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang
merupakan ara dosen Pascasarjana UI. Upaya ini mendesak dilakukan mengingat
praktek ekonomi syariah telah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia
dalam bentuk perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah,
reksadana syariah, obligasi sariah, pegadaian syariah, lembaga keuangan mikro
syariah dan sejumlah perusahaan sektor riil syariah.
Metodologi
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam,
menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam,
Disiplin ushul fiqh ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak
diperlukan para mujtahid. Maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan
hukum ekonomi Islam tsb. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan
pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan demikian,
diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta
keadilan masyarakat, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan
sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia khususnya
dalam bidang ekonomi syariah..
Bentuk ijtihad yang digunakan adalah ijtihad jama’iy yaitu berijtihad secara
kolektif, di mana para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syariah merumuskan dan
menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Islam tersebut secara bersama-sama, sehingga
kekuatan hukumnya jauh lebih kuat dan akurat..
Penutup
Kemestian hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syariah di Indonesia dipandang
sangat mendesak, karena ekonomi syariah telah dipratekkan dalam masyarakat.
Jangan sempat terjadi kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syariah atau masih
memadakan KUH Perdata konvensional yang notebene adalah terjemahan dari
Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan kolonial. BW tersebut masih banyak tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman, bahkan juga tidak sesuai dengan jiwa hukum
ekonomi syariah. Meskipun demikian, mungkin saja ada klausa-klausa yang masih
relevan. Dalam hal ini kita terapkan Al-Muhafazah ’alal qadim ash-sholih
wal-akhzu bil jadid al-ashlah (artinya, memelihara hukum masa lalu yang relevan
dan mengandung kemaslahatan dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahah).
*Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI
sumber : pesantrenvirtual.com