Oleh Saifulloh
Guru di Pondok Modern Darussalam Gontor
Kamus Besar B a h a s a Indonesia m e n g
artikan darah biru sebagai keturunan bangsawan atau ningrat, yang oleh
karenanya, dianggap sebagai golongan tertinggi dalam struktur masyarakat.
Sementara itu Wikipedia menulis bahwa darah biru merupakan terjemahan dari
frase Spanyol sangre azul, yang menggambarkan keluarga kerajaan Spanyol dan
bangsawan tinggi lainnya.
Sebenarnya tidak ada hubungan
antara frase itu dengan warna darah bangsawan yang sebenarnya. Namun di
masyarakat kuno Eropa, hampir semua bangsawan memiliki warna kulit yang pucat
kemerahan dan pembuluh balik kebiru-biruan di bawah permukaan kulitnya. Keadaan ini
berbeda dengan kulit masyarakat kelas petani yang berwarna kecoklat-coklatan dan pembuluh darah
baliknya tidak terlihat jelas karena banyak bekerja di bawah terik matahari.
Agaknya inilah yang menyebabkan mengapa golongan bangsawan dikatakan berdarah
biru.
Di zaman modern, kaum berdarah
biru tidak lagi memiliki privilese resmi di hampir seluruh negara di dunia.
Namun demikian, sikap mental kaum feodal yang merupakan “saudara kandung” kaum
berdarah biru, masih banyak ditemui. Mereka ingin dilayani, dihormati, dan
merasa memiliki privilese yang meniscayakan perlakuan istimewa meskipun nihil
prestasi. Mereka mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, dan bukan prestasi
kerja. Sikap seperti ini adalah sikap yang kontra produktif, dan jika terus
dipelihara, maka cita-cita
menjadi bangsa yang besar hanyalah angan-angan belaka. Inilah tampaknya yang menyebabkan Trimurti
pendiri Pondok Modern Gontor begitu getol memerangi feodalisme; sebuah sistem
sosial yang sangat lekat dengan kaum berdarah biru.
Dari sini, kiranya kita perlu
mendekonstruksi makna darah biru itu. Hal ini tidak saja karena istilah itu
lahir dari ruang sejarah yang bersifat multi-tafsir, tapi juga karena ia berhadapan secara vis a
vis dengan hukum Allah yang tidak melihat kemuliaan manusia kecuali
berdasarkan iman dan taqwa, bukan berdasarkan garis keturunan.
KH Abdullah Syukri Zarkasyi,
salah satu Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor sekarang memiliki pemahaman
lain tentang istilah darah biru. Menurut beliau, orang yang berdarah biru
adalah mereka yang memiliki kehormatan, harga diri, kemuliaan, nama besar, dan
bahkan privilese yang muncul karena prestasinya. Bukan karena ia anak pejabat,
orang kaya, atau keturunan ningrat. Maka status darah biru itu sebenarnya tidak
diturunkan oleh orang tua, melainkan diciptakan. Setiap orang memiliki peluang
yang sama untuk memiliki dan menyandang status itu. Konsep darah biru ala Kyai
Syukri inilah yang selalu ditanamkan kepada seluruh santri dan pengajar dalam
berbagai kesempatan.
Lantas bagaimana Gontor menciptakan kader umat yang
“berdarah biru”? Segala aktivitas di Gontor harus dilaksanakan dengan disiplin
tinggi. Disiplin tanpa pandang bulu inilah yang mengikis habis sikap
feodalistis. Sehingga jangan heran jika anda melihat anak menteri atau pejabat
tinggi lainnya yang sekolah di Gontor, mendapat perlakuan disiplin yang sama
dengan anak petani. Mereka juga harus ikut menyapu halaman asrama, membersihkan
kamar, atau jadi bulis malam (ronda) jika tiba jadwalnya.
Selain harus berdisiplin, setiap santri juga selalu
dibiasakan berpikir keras, bekerja keras, dan bersabar keras dalam menjalani
segala kegiatan di Pondok. Semua kegiatan yang dilaksanakan santri, harus
memiliki perencanaan yang jelas. Perencanaan itu bahkan dilaksanakan secara
berlapis mulai dari santri, guru, hingga Kyai. Semuanya mencurahkan pikirannya
untuk membuat perancanaan yang matang. Setelah terencana dengan rapi, sebuah
program harus dilaksanakan dengan serius, sungguh-sungguh, dan sepenuh hati. Tidak cukup sampai di situ,
semuanya juga dituntut untuk memiliki kesabaran dalam menjalankan setiap program.
Bukan sabar yang pasif, melainkan sabar yang aktif tentunya.
Dari sini, seluruh santri memiliki kesempatan yang sama untuk
berekspresi, berkreasi, dan berprestasi. Prestasi duniawi dan ukhrawi yang
tentu saja tidak didapat secara cuma-cuma,
melainkan dengan berpikir keras, bekerja keras, bersabar keras, dan harus
diikuti dengan tawakal kepada Allah. Sehingga pada gilirannya, status “darah
biru” bisa disandang oleh siapa saja yang berprestasi, tidak lagi milik kaum
ningrat. Wallahu a’lam bish-shawab.
0 comments
Post a Comment