Monday, December 2, 2013

Darah Biru Ala Pesantren

 Oleh Saifulloh
Guru di Pondok Modern Darussalam Gontor

Kamus Besar B a h a s a Indonesia m e n g artikan darah biru sebagai keturunan bangsawan atau ningrat, yang oleh karenanya, dianggap sebagai golongan tertinggi dalam struktur masyarakat. Sementara itu Wikipedia menulis bahwa darah biru merupakan terjemahan dari frase Spanyol sangre azul, yang menggambarkan keluarga kerajaan Spanyol dan bangsawan tinggi lainnya.
Sebenarnya tidak ada hubungan antara frase itu dengan warna darah bangsawan yang sebenarnya. Namun di masyarakat kuno Eropa, hampir semua bangsawan memiliki warna kulit yang pucat kemerahan dan pembuluh balik kebiru-biruan di bawah permukaan kulitnya. Keadaan ini berbeda dengan kulit masyarakat kelas petani yang berwarna kecoklat-coklatan dan pembuluh darah baliknya tidak terlihat jelas karena banyak bekerja di bawah terik matahari. Agaknya inilah yang menyebabkan mengapa golongan bangsawan dikatakan berdarah biru.
Di zaman modern, kaum berdarah biru tidak lagi memiliki privilese resmi di hampir seluruh negara di dunia. Namun demikian, sikap mental kaum feodal yang merupakan “saudara kandung” kaum berdarah biru, masih banyak ditemui. Mereka ingin dilayani, dihormati, dan merasa memiliki privilese yang meniscayakan perlakuan istimewa meskipun nihil prestasi. Mereka mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, dan bukan prestasi kerja. Sikap seperti ini adalah sikap yang kontra produktif, dan jika terus dipelihara, maka cita-cita menjadi bangsa yang besar hanyalah angan-angan belaka. Inilah tampaknya yang menyebabkan Trimurti pendiri Pondok Modern Gontor begitu getol memerangi feodalisme; sebuah sistem sosial yang sangat lekat dengan kaum berdarah biru.
Dari sini, kiranya kita perlu mendekonstruksi makna darah biru itu. Hal ini tidak saja karena istilah itu lahir dari ruang sejarah yang bersifat multi-tafsir, tapi juga karena ia berhadapan secara vis a vis dengan hukum Allah yang tidak melihat kemuliaan manusia kecuali berdasarkan iman dan taqwa, bukan berdasarkan garis keturunan.
KH Abdullah Syukri Zarkasyi, salah satu Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor sekarang memiliki pemahaman lain tentang istilah darah biru. Menurut beliau, orang yang berdarah biru adalah mereka yang memiliki kehormatan, harga diri, kemuliaan, nama besar, dan bahkan privilese yang muncul karena prestasinya. Bukan karena ia anak pejabat, orang kaya, atau keturunan ningrat. Maka status darah biru itu sebenarnya tidak diturunkan oleh orang tua, melainkan diciptakan. Setiap orang memiliki peluang yang sama untuk memiliki dan menyandang status itu. Konsep darah biru ala Kyai Syukri inilah yang selalu ditanamkan kepada seluruh santri dan pengajar dalam berbagai kesempatan.
Lantas bagaimana Gontor menciptakan kader umat yang “berdarah biru”? Segala aktivitas di Gontor harus dilaksanakan dengan disiplin tinggi. Disiplin tanpa pandang bulu inilah yang mengikis habis sikap feodalistis. Sehingga jangan heran jika anda melihat anak menteri atau pejabat tinggi lainnya yang sekolah di Gontor, mendapat perlakuan disiplin yang sama dengan anak petani. Mereka juga harus ikut menyapu halaman asrama, membersihkan kamar, atau jadi bulis malam (ronda) jika tiba jadwalnya.
Selain harus berdisiplin, setiap santri juga selalu dibiasakan berpikir keras, bekerja keras, dan bersabar keras dalam menjalani segala kegiatan di Pondok. Semua kegiatan yang dilaksanakan santri, harus memiliki perencanaan yang jelas. Perencanaan itu bahkan dilaksanakan secara berlapis mulai dari santri, guru, hingga Kyai. Semuanya mencurahkan pikirannya untuk membuat perancanaan yang matang. Setelah terencana dengan rapi, sebuah program harus dilaksanakan dengan serius, sungguh-sungguh, dan sepenuh hati. Tidak cukup sampai di situ, semuanya juga dituntut untuk memiliki kesabaran dalam menjalankan setiap program. Bukan sabar yang pasif, melainkan sabar yang aktif tentunya.
Dari sini, seluruh santri memiliki kesempatan yang sama untuk berekspresi, berkreasi, dan berprestasi. Prestasi duniawi dan ukhrawi yang tentu saja tidak didapat secara cuma-cuma, melainkan dengan berpikir keras, bekerja keras, bersabar keras, dan harus diikuti dengan tawakal kepada Allah. Sehingga pada gilirannya, status “darah biru” bisa disandang oleh siapa saja yang berprestasi, tidak lagi milik kaum ningrat. Wallahu a’lam bish-shawab.

0 comments

Post a Comment